Christian Myspace Layouts

Senin, 05 Februari 2018

KEMBALI DI KAKI YESUS



A. MENINGGALKAN TAHUN 2017
                  Tahun 2017 lalu sepertinya sulit, seolah-olah tidak mudah untuk melaluinya. Ternyata tanpa kita sadari kita sudah melaluinya. Seperti kisah 10 orang kusta, yang proses kesembuhannya terjadi justru saat mereka dalam perjalanan.
Sayangnya, dari 10 orang kusta yang sembuh, hanya ada satu yang datang kembali kepada Yesus, dan tersungkur di kakinya, mengucap syukur, memuliakan Tuhan. Di tahun 2018 ini apakah saudara datang kembali, tersungkur di kaki Tuhan, bersyukur memuliakan Tuhan.
Kepada 1 orang kusta itu Yesus berkata, karena imanmu kamu telah diselamatkan. Dari 10 orang kusta yang mendapat berkat jasmani, hanya 1 orang yang mendapat berkat rohani.
Jangan karena berkat jasmani, kita lupa berkat rohani. Berkat rohani lebih penting, karena berisi keselamatan. Jangan jadi seperti 9 orang kusta yang lupa bersyukur. Apa yang harus kita lakukan:
1. Memuliakan Allah dengan suara yang nyaring (ayat15)
2. Tersungkur mengucap syukur (ayat 16)
3. Mengucap syukur karena Tuhan sudah lewatkan.
B. MEMASUKI TAHUN 2018
              Bacalah Mazmur 84:7 dan 2 Korintus 4:16. Di dalam Tuhan, semakin lama kita berjalan akan semakin kuat. Kuat imannya, kuat pengharapannya, kuat kasihnya.
              9 orang kusta yang mendapat mujizat kesembuhan, mereka hanya dapati mujizat jasmani, tetapi imannya hancur, kasihnya hancur, pengharapannya hancur. Berbeda dengan 1 orang kusta yang kembali, ia mendapat mujizat jasmani dan rohani. Iman, pengharapan dan kasihnya dipulihkan.
Berikut ini cara agar kita semakin kuat di dalam perjalanan mengiring Tuhan Yesus:
1. Tujuan, orientasi kita adalah Tuhan (firman Tuha katakan:…. Hendak menghadap Tuhan di Silo). Kalau orientasi hidup kita bukan Allah tetapi dunia, kita pasti akan kecewa. Tidak akan kecewa bila mengiring Yesus.
2. (Ayat 2) Senang kepada Rumah Tuhan, membangun Mezbah Tuhan. Pribadi kita membangun hubungan dengan Tuhan. Awali 2018 ini dengan Terang Tuhan, dengan Firman Tuhan.
3. (ayat 5b) Terus menerus memuji Allah. Pujian kepada Allah akan member keyakinan dan pengharapan bahwa Tuhan akan menolong.
4. (ayat 6-7) Taruh kekuatan kita di dalam Tuhan, andalkan Tuhan, jangan goyah. Mazmur 23:4 mengatakan, bahkan melewati lembah baka, lembah kekelaman, tempat suram, tempat air mata dan kematian, Tuhan tetap member kekuatan. Di sana air mata telah Tuhan ubah menjadi mata air. Tuhan member penghiburan, kelimpahan dan kepuasan. Bahkan di dalam Matius 5:33 semuanya itu akan Tuhan tambah tambahkan.
Ayo kita mencari Tuhan dan mengutamakan Dia dalam segala hal.

 

Senin, 31 Januari 2011

Peran Suami Dalam Pernikahan dan Proses Penyatuan.

"Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" 
[ Kej. 2:24 ].
Ayat diatas mengungkapkan apa yang disebut hukum universal pernikahan. Ada dua poin didalam hukum universal ini. Pertama, tanggung jawab suatu pernikahan ada diatas pundak laki-laki. Mengapa ? Karena tertulis. "seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya", ini berarti inisiatif dan tindakan untuk menikah dijalankan oleh seorang laki-laki. Ini juga berarti bahwa segala hal yang terjadi didalam suatu pernikahan merupakan tanggung jawab laki-laki. Itulah sebabnya mengapa laki-laki [ suami ] disebut kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga tentu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi didalam rumah tangganya. Kesalahan-kesalahan bisa saja dilakukan oleh seorang istri atau anak-anak didalam keluarga, tetapi tanggung jawab tetap berada dipundak suami sebagai kepala. Itu sebabnya Allah memanggil manusia ( Adam ) dan bukan Hawa, ketika keluarga pertama dimuka bumi ini jatuh dalam dosa [ Kejadian 3:9 ].
Kedua, tanggung jawab untuk memelihara dan mengusahakan kesatuan ada di pundak laki-laki. Hal ini ditegaskan oleh ayat diatas, "dan bersatu dengan istrinya". Disini juga terlihat bahwa pernikahan adalah merupakan suatu proses penyatuan antara suami dengan istrinya, tetapi tanggung jawabnya berada dipundak sang suami.
Bagaimana seorang suami dapat bersatu dengan istrinya ? Sesuai ayat diatas yaitu, "meninggalkan ayahnya dan ibunya". Artinya, sejak seorang laki-laki menikah, maka ia telah meninggalkan unit keluarga yang dibangun bapanya karena ia telah membangun suatu unit keluarga yang baru. Ia telah menjadi kepala dari suatu unit keluarga yang baru. Ia tidak lagi berada dibawah ke-kepala-an bapanya. Ini tidak berarti ia tidak perlu lagi mendengarkan nasihat bapanya, tetapi sekarang ia telah menjadi seorang kepala rumah tangga yang "independent" dimana ia harus menentukan sendiri keputusan-keputusan bagi keluarganya. Meninggalkan ayahnya, juga berarti ia harus mengutamakan kesatuan dengan istrinya, diatas segala hal yang berkaitan dengan ayahnya. Bukan berarti ia tidak menghormati ayahnya lagi, tetapi ia harus terfokus pada usaha bagaimana ia dapat bersatu dengan istrinya.
Selanjutnya, seorang laki-laki juga harus meninggalkan ibunya, agar ia dapat bersatu dengan istrinya. Hal ini berarti bahwa perempuan nomor satu bagi seorang laki-laki adalah istrinya, dan bukan ibunya. Bagi seorang laki-laki yang tidak terlalu dekat dengan ibunya, mungkin hal ini tidak menjadi masalah. Tetapi bagi seorang "anak mami", ini merupakan masalah besar. Proses penyatuan seorang laki-laki dengan istrinya terhambat karena adanya "orang ketiga",yaitu ibunya sendiri. Apalagi jika ibunya adalah seorang yang suka mencampuri dan mengatur rumah tangga anaknya, maka kesatuan suami-istri tidak mungkin tercapai. Jadi, seorang laki-laki harus mengambil keputusan tegas untuk me-nomor satu-kan istrinya demi proses penyatuan, dan tidak me-nomor satu-kan ibunya. Apabila kata "meninggalkan" ini kita perluas artinya, maka seorang laki-laki harus meninggalkan segala sesuatu, yang menghambat proses penyatuan dengan istrinya. Artinya ia harus mengutamakan penyatuan dengan istrinya, daripada apa yang disebut pelayanan, pekerjaan, hobby, dst.
Memang ada harga yang harus dibayar untuk bersatu dengan istri kita. Tetapi suami yang memperoleh hikmat Tuhan, akan mengetahui kehendakNya serta menentukan prioritas dengan benar.
Sumber: Gema Sion Ministry

6 Pilar Penyangga Perkawinan

Di masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan kelangsungan sebuah keluarga. Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet. Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah cukup memenuhi kriteria pasangan hidup. "Cari pasangan ya lihat pribadinya dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!" ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih, yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya. "Yang paling penting ya cinta dong!" yang lain menyergah tak kalah semangat.
Sebetulnya apa saja sih pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi. Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi. Akan tetapi Titi mengingatkan agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.
6 Pilar Yang Dibutuhkan
Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang tidak sedikit.
Berikut di antaranya:
  • Latar belakang keluarga Tak bisa dipungkiri
  • latar belakang keluarga kedua belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya. Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.

  • Kesetaraan


  • Kesetaraan akan mempermudah suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.

  • Karakteristik individu


  • Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih mulus.

  • Cinta


  • Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam, serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan sebagainya. Ada yang bilang, setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata!

  • Kematangan dan motivasi


  • Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah. Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.

  • Partnership


  • Pilar rumah tangga berikutnya adalah partnership alias semangat bekerja sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.
    Bila Terjadi Kepincangan
    Idealnya, ucap Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat. Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa yang harus dilakukan?
    "Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan ada usaha dari kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini yang bisa diterima bersama."
    Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan keluarnya."
    Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu? "Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri."
    Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

    Selasa, 18 Januari 2011

    Model Orangtua

    Kenapa Tuhan memberikan kepada anak orangtua? Dengan masalah keluarga yang meningkat, masalah disiplin meningkat, dan pertumbuhan orang yang secara psikologi cacat dilingkaran keluarga tradisional, kita bertanya kenapa Tuhan tidak memakai cara lain untuk membawa anak menjadi dewasa daripada menggunakan orangtua dalam lingkungan keluarga.
    Dan dia membuat mereka disana sangat lama, kira-kira hampir 18 tahun. Sebagian besar burung dan binatang sudah melepaskan diri dalam seminggu atau sebulan. Tapi kegagalan perkawinan masa remaja secara dramatis menggambarkan kalau usia 15, 16 atau bahkan 17 tahun tidak cukup untuk mempersiapkan manusia membangun suatu keluarga sendiri yang berhasil. Kenapa?
    Karena, kehidupan bagi seekor binatang hanya masalah insting yang dibawa dari lahir. Hidup bagi manusia lebih dari itu. Itu melibatkan intelektual dan karakter emosional, pilihan kehendak, nilai moral dan keindahan. Hal ini tidak didapat begitu saja; mereka dikembangkan, dan membutuhkan waktu. Tuhan memberikan orangtua bagi anak untuk membantu mereka membangun kualitas itu sehingga mempersiapkan mereka bagi kehidupan yang memuaskan dan berguna.
    Organisasi dan agen juga berkontribusi dalam membentuk karakter dan kepribadian anak, tapi tidak ada yang memiliki pengaruh seperti orangtua mereka. Ini tidak hanya keunikan dan intensitas hubungan orangtua-anak, tapi juga jumlah waktu yang dihabiskan dirumah. Sebelum masuk sekolah, hampir seluruh waktu anak-anak dihabiskan dirumah. Bahkan selama masa sekolah mereka, sebanyak 60 jam ada disekitar rumah, jauh melebihi waktu yang dihabiskan ditempat lain. Apa yang dicerminkan selama waktu-waktu itu akan sangat menentukan jenis manusia dewasa apa anak kita nanti, dan dampak dari tahun-tahun itu akan tercetak dalam kepribadian mereka. Tuhan mengatakan bahwa hidup seorang nanti ditentukan oleh pengalaman dan pelatihan sebelumnya (Prov. 22:6). Psikolog modern, sosiolog, dan pendidik setuju. Anak kita terbentuk sebagaimana kita bentuk. Mereka hasil dari semua hal yang kita lakukan dalam hidup mereka. Pelatihan yang kita sediakan akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk bergaul dengan orang lain, ketulusan kesaksian dan pelayanan Kristen mereka, kualitas kerja mereka, kualitas keluarga yang mereka bentuk, dan hampir semua sis kehidupan mereka.
    Itu suatu pemikiran yang mengejutkan. Berhasil membesarkan anak terdengar seperti tugas yang luar biasa. Memang seperti itu, membesarkan anak menuntut lebih dari kemampuan manusia. Itu membutuhkan hikmat dan kekuatan supernatural. “Tapi saya bukan Tuhan” anda mungkin berkata demikian. Benar! Anak anda mungkin sudah lebih dulu mengetahui hal itu. Tapi Tuhan berjanji menyediakan apa yang anda butuhkan (Phil. 4:19). Dan Dia tahu pasti apa yang anda butuhkan untuk menjadi orangtua yang baik, karena dia sendiri adalah Model Orangtua.
    Suatu hal yang sangat menarik kalau saat Yesus berdoa dia menyebut Tuhan sebagai “Allah Bapa. Dan pemazmur menyatakan, “Adapun Allah, jalan-Nya sempurna” (Psa. 18:30, TLB). Jelas konklusinya bahwa Tuhan itu seorang bapak yang sempurna. Melalui penyelidikan FirmanNya dan belajar bagaimana dia berfungsi sebagai orangtua, kita bisa belajar menjadi orangtua seperti apa. Kemudian saat kita mengkomitmenkan diri kita sepenuhnya kepada dia dan membiarkan dia mengatur hidup kita, dia bebas menyatakan kuasa dan kekuatannya sebagai Model Orangtua melalui kita. Dia menyediakan teladan dan kekuatan, baik arahan dan dinamika bagi kita untuk menjadi orangtua yang berhasil.
    Ada beberapa bagian Alkitab yang membandingkan Allah sebagai orangtua dan kita sebagai orangtua. Sebagai contoh, pemazmur menulis, “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Psa. 103:13, TLB). Salomo membuat penyelidikan ini yang kemudian dipinjam oleh penulis Ibrani: “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Prov. 3:12, NASB; cf. Hebrews 12:6). Yesus menambahkan hal ini: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Matt. 7:11, TLB).
    Maksud hal ini sangat jelas terdapat diAlkitab. Tuhan sebagai orangtua dan kita sebagai orangtua sangat mirip—setidaknya memang begitu seharusnya. Tapi apakah anda memperhatikan bahwa didalam seluruh ayat ini arahnya adalah dari manusia kepada Allah. Setiap ayat menggunakan orangtua dan cara mereka memperlakukan anak mereka untuk mengajarkan siapa itu Allah. Konselor Kristen menemukan memang seperti itu. Pandangan seseorang tentang Allah sering merupakan gambaran orangtuanya sendiri, terutama bapaknya. Jika orangtuanya bahagia, mengasihi, menerima, dan mengampuni, dia lebih mudah mengalami hubungan yang positif dan memuaskan dengan Tuhan. Tapi jika orangtuanya dingin dan tidak peduli, dia mungkin merasa Tuhan terasa jauh dan tidak tertarik terhadapNya secara pribadi. Jika orangtuanya marah, kasar, dan menolak dia, dia sering merasa bahwa Tuhan tidak akan pernah menerima dia. Jika orangtuanya sulit dipuaskan, dia umumnya memiliki pengertian bahwa Tuhan tidak begitu senang dengannya.
    Kita perlu merenungkan hal itu, sebagai orangtua Kristen. Konsep Tuhan seperti apa yang dibentuk anak kita melalui hubungannya dengan kita? Apakah dia belajar bahwa Tuhan itu pengasih, baik, sabar, dan pengampun ? atau kita tidak sengaja membangun pengertian Tuhan yang salah dalam hidupnya, menunjukan melalui tindakan kita bahwa Tuhan itu kasar, cepat marah, dan tidak puas, bahwa dia akan berteriak, memarahi atau menendang kita saat kita salah? Seluruh kehidupan kerohanian anak kita dipertaruhkan disini. Disini sangat penting bagi kita mempelajari orangtua seperti apa Tuhan itu, kemudian mengikuti teladannya agar anak kita bisa melihat pelajaran hidup tentang Tuhan yang kita miliki.
    Setidaknya ada satu bagian dalam Alkitab, yang bergerak dari Tuhan kemanusia, menasihati kita untuk mengikuti teladan Tuhan dalam membesarkan anak kita. “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” (Eph. 6:4, NASB). Ketiga kata kesimpulan dalam ayat ini selanjutnya akan menentukan arah buku ini. Pelatihan yang kita berikan pada anak kita haruslah pelatihan dari Tuhan. Tuhan harus menjadi prinsip pengarah dalam pelatihan itu. Itu milik dia dan harus diatur olehnya. Itu merupakan pelatihan yang sama dengan kita, dan kita akan memberikannya pada anak kita melalui arahan, kuasa dan dibawa otoritasNya serta bertanggung jawab pada dia. Tuhanlah inti semua hal ini. Saat kita masuk secara spesifik kedalam prinsip pelatihan anak, Alkitab tidak memiliki banyak hal yang dikatakan secara langsung. Tapi saat kita mengerti prinsip dasar yang dibangun dalam ayat ini, Alkitab menjadi suatu buku petunjuk yang tidak habis-habisnya dalam melatih anak dengan berhasil.
    Hal itu berarti—kita memperlakukan anak kita seperti Tuhan memperlakukan kita. Dia model kita. Dan pengertian kita tentang bagaimana dia memperlakukan kita tidak semata datang dari orangtua kita, karena pengertian mereka bisa salah, seperti sudah kita lihat. Itu harus datang dari FirmanNya. Kita butuh menyelidiki Alkitab untuk menemukan bagaimana Tuhan memperlakukan anaknya, kemudian melakukan hal yang sama kepada anak kita.
    Paulus menggunakan 2 kata dalam Efesus 6:4 untuk meringkas metode Tuhan dalam membesarkan anak--discipline dan perintah. Hal pertama merupakan kata umum bagi pelatihan anak. Itu meliputi penentuan tujuan bagi anak kita, mengajarkan mereka tujuan itu, kemudian dengan sabar tapi tekun membimbing mereka kearah tujuan itu. Walau kata aslinya tidak berarti koreksi, tapi dalam penggunaannya memasukan arti itu dan dalam Ibrani 12:5-7 (KJV) diterjemahkan “menghajar”. Tapi disiplin, berlawanan dengan pendapat umum, itu lebih dari sekedar koreksi. Itu berarti menentukan arah bagi anak kita, membimbing mereka disepanjang arah itu, dan dengan tegas namun penuh kasih mengembalikan mereka jalur itu saat mereka tersesat.
    Pikirakan tentang menentukan arah. Apakah anda sudah pernah berdoa untuk menentukan tujuan bagi pelatihan anak kita ? Ini mungkin waktu yang tepat untuk itu. Kita tidak bisa mengharapkan anak kita menjadi baik jika kita tidak yakin “baik” itu apa. Seperti kata salah satu professor seminari saya, “Jika anda tidak menargetkan apa-apa, itulah target anda.” Karena kita belum memiliki target, mari buat sekarang. Target anda mungkin lebih luas dari saya, tapi ini setidaknya tempat yang baik untuk memulainya. Ini beberapa daftar dasar dari tujuan Alkitab yang ingin kita capai bersama anak kita.
    1. Memimpin mereka untuk Mengetahui Keselamatan dalam Yesus Kristus. Hal ini terjadi diwaktu Tuhan, tapi kita tidak bisa benar-benar mengharapkan mereka menjadi seperti keinginan Tuhan sampai mereka memiliki nature baru yang diberikan dari atas.
    2. Memimpin mereka kepada Komitmen Hidup secara Total untuk Kristus. Kita ingin agar mereka membuat keputusan yang sesuai dengan kehendaknya, berbagi setiap detil kehidupan dengan dia dalam doa, dan belajar untuk bersandar padanya dalam setiap pengalaman hidup yang mereka hadapi. Pertama, tanyakan pada Tuhan pola prilaku apa yang harus dibangun. Waktu untuk memulai adalah diawal kehidupan anak.
    3. Memasukan Firman Tuhan dalam Hidup Mereka. Kita akan mengajarkan itu dengan setia, mengkaitannya dengan hidup, dan membuat suatu teladan untuk meneguhkannya.
    4. Mengajarkan mereka Ketaatan, dan Menghormati Otoritas. Dengan mengembangkan kemauan mereka untuk tunduk pada otoritas kita, kita memasukan pelan-pelan rasa hormat pada peraturan, seperti sekolah minggu, pemerintah, dan yang terutama otoritas Tuhan sendiri. Tunduk pada otoritas merupakan dasar hidup bahagia dan damai dalam lingkungan kita.
    5. Mengajarkan mereka Disiplin Diri. Hidup yang paling berbahagia adalah hidup yang terkontrol, khususnya dalam hal makan, tidur, seks, menjaga tubuh, penggunaan waktu dan uang, dan keinginan hal materi.
    6. Mengajar mereka untuk Menerima Tanggung jawab—tanggung jawab untuk dijalankan dengan sukacita dan dengan efisien menyelesaikannya, tanggungjawab dalam menjaga milik mereka, dan tanggung jawab terhadap akibat tindakan mereka.
    7. Mengajarkan mereka Prilaku dasar Karakter Kristen, seperti kejujuran, ketekunan, kebenaran, tidak egois, kebaikan, berbudi, pertimbangan, ramah, keadilan, murah hati, kesabaran, dan rasa terima kasih.
    Sekarang kita tahu kemana tujuan kita. Tapi ingat, tujuan kita tidak hanya menekankan hal ini saat anak kita dibawa perawatan kita. Itu merupakan satu paket sehingga saat mereka tidak lagi bersama kita itu akan terus membimbing mereka. Itu seperti kata Salomo, “Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu. Tambatkanlah senantiasa semuanya itu pada hatimu, kalungkanlah pada lehermu. Jikalau engkau berjalan, engkau akan dipimpinnya, jikalau engkau berbaring, engkau akan dijaganya, jikalau engkau bangun, engkau akan disapanya. Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan” (Prov. 6:20-23, TLB).
    Membuat hal ini mendarah daging, yaitu membuat hal ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, seperti kata kedua yang digunakan Paulus dalam Ephesians 6:4 untuk menggambarkan pelatihan yang Tuhan berikan pada kita. Kata ini secara literal berarti, “meletakan dalam pikiran.” Penekanannya pada kata kerja pelatihan—memperingatkan, mengajar, menguatkan, memberi perintah, atau menegur. Tapi itu jauh dari ajaran orangtua. Itu menggambarkan orangtua yang setia dengan lembut menanamkan prinsip Firman Tuhan kedalam jiwa anak sehingga itu menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Standar tidak hanya menjadi milik orangtua. Sekarang juga telah menjadi milik anak itu. Dia siap masuk dalam dunia, tidak tergantung pada orangtua, dengan prinsip Firman Tuhan dalam hidupnya sehingga dia menemukan kebahagiaan dan keberhasilan dalam melakukan kehendak Tuhan, bahkan saat tidak orang yang mengawasi mereka. Mungkin ini sebabnya sebagian orangtua berat melepas anaknya saat mereka harus dilepas. Jika orangtua mencurigai mereka belum berhasil memasukan cara hidup Tuhan dalam hidup anak mereka, mereka mungkin ragu-ragu melepaskan mereka, tapi mencoba mempengaruhi dan memanipulasi hal itu dengan berbagai cara lama setelah mereka sudah menika dan meninggalkan rumah. Tuhan ingin kita mulai membangun kemandirian itu sejak anak kita baru dilahirkan.
    Aturan orantua, peraturan lainnya, dan batasan hanyalah sementara. Tujuannya adalah menyiapkan anak untuk kebebasan, jenis kebebasan yang bisa membawa dia kepada kepuasan sejati, kebebasan untuk hidup dalam keselarasan dan kebahagiaan dengan Penciptanya. Saat dia belajar dan dewasa, pembatasan dikurangi dan kemandirian ditingkatkan sampai dia meninggalkan kita untuk membangun keluarganya sendiri, disiplin diri, kedewasaan yang dikendalikan Roh, mampu melakukan tanggung jawab yang diberikan Tuhan dalam hidupnya.
    Keseluruhan proses ini digambarkan dengan indah melalui cara Tuhan memperlakukan manusia diseluruh sejarah. Disaat kerohanian manusia masih anak-anak, Tuhan memberikan mereka Hukum -- 613 perintah, peraturan, dan penghukuman yang mengatur hampir setiap detil kehidupan. Itu bukan cara hidup yang umumnya dipilih manusia, tapi itu berhasil. Paulus berkata, “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman” (Gal. 3:24, 25, KJV, cf. Gal. 4:1-7). Dia kemudian mengambarkan kepenuhan iman, kebebasan hidup dalam Kristus, dan sukacita kedewasaan dalam Anak. Siapa yang memerlukan semua hukum diatas saat kita memiliki Roh Kudus didalam diri kita (Rom. 8:14)?
    Itulah yang harus dilakukan orangtua. Selama masa kecil kita mengatur tindakan mereka dengan standar Alkitab. Saat anak mengembangkan disiplin dan control diri, pembatasan luar semakin dikurangi sampai dia mencapai kemandirian yang Tuhan inginkan disaat dia berkata, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Gen. 2:24, KJV).
    Hanya ada sedikit bandingannya dalam dunia ini dengan sukacita yang kita rasakan saat melihat anak kita hidup dalam persekutuan bersama Tuhan atas keinginan mereka sendiri. Rasul Yohanes berkata, “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3 John 1:4, KJV). Dia mungkin bicara tentang anak rohaninya, tapi maksudnya bisa diaplikasikan pada anak kita. Yakub juga merasakan sukacita itu saat dia mendengar cerita perseteruan anaknya dengan istri potifar. Dia menawarkan Yusuf tubuhnya dan sulit menolaknya. Ayahnya berada beberapa ratus mil dari dia dan saat itu tidak jelas apakah Yusuf masih bisa bertemu dengannya lagi. Tapi prinsip Tuhan sudah menjadi bagian dari jiwanya selama tahun-tahun masa kecilnya sehingga itu menjauhkannya dari berbuat dosa (Gen. 39:7-20).
    Orangtua Daniel mengalami sukacita yang sama jika mereka mendengar anak mereka dengan setia berbakti pada Tuhannya di Babylon. Dia berada hampir 600 mil dari rumah. Dan semua anak-anak yang lain memakan makanan raja yang sudah dipersembahkan pada dewa. “Semua orang melakukannya” dan “tidak ada yang bisa tahu” sudah cukup alasan bagi banyak anak lain kedalam kegagalan rohani. Tapi “Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja” (Dan. 1:8, TLB).
    Bukankah akan menjadi hal yang indah mengetahui anak kita berjalan dengan Tuhan saat mereka jauh dari kita ? Dengan teladan Model Orangtua membimbing kita dan kuasa Roh yang ada dalam diri kita untuk menguatkan kita, kita bisa menolong anak kita melalui tahun-tahun pembentukan mereka dan membentuk mereka menjadi pria dan wanita Tuhan, diperlengkapi untuk melakukan kehendakNya.

    Selasa, 20 Juli 2010

    PENGAMPUNAN ALA YESUS

    PENGAMPUNAN ALA YESUS


    Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu
    apa yang
    mereka perbuat.”
    (Luk 23: 34 )



    Uc a p a n Y e s u s t e r s e b u t merupakan doa yang ditujukan kepada Bapa di sorga sesaat setelah Ia digantungkan di kayu salib. Dalam penderitaan dan sengsara yang hebat, Yesus minta supaya Bapa mengampuni dosa orang-orang yang telah menyalibkan dia. Bukankah ini suatu hal yang mengherankan bagi kita, karena kita telah terbiasa untuk mengumpat dan menyumpahi orang-orang yang menyakiti dan menyengsarakan kita? Bahkan baru disindir sedikit saja, seringkali kita menjadi tersinggung dan marah kepada orang yang menyindir kita.
    Begitulah sifat manusia pada umumnya, walaupun dirinya mengaku sudah bertobat dan percaya kepada Yesus bahkan telah dipenuhi dengan Roh Kudus. Seringkali tabiat dosa dan sifat manusia yang lama itu masih melekat dalam diri kita. Bagaimanakah kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita? Tuhan Yesus mengajarkan orang banyak supaya mengasihi musuh dan berbuat baik kepada mereka, bahkan supaya kita meminta berkat Bapa dan mendoakan mereka (Luk 6: 22-36 ). Yesus menjawab pertanyaan Petrus tentang pengampunan untuk m e n g a m p u n i sebanyak tujuh puluh kali tujuh. Ini adalah sebuah p e n g amp u n a n yang total, yang dilakukan dengan segenap hati, sama seperti Bapa di sorga m e n g a m p u n i dosa dan kesalahan kita. (Mat 18: 21-35 ; Kol 3: 13)
    Pengampunan ala Yesus memang kontroversial. Bahkan dalam keadaan sekarat dan hampir mendekati ajalNya sekalipun, Yesus masih dapat mengampuni kejahatan orang-orang yang telah menyalibkan Dia. Bahkan Ia minta kepada Bapa supaya mengampuni mereka karena mereka tidak mengerti apa yang mereka perbuat.
    Haleluyah. Dapatkah saudara mengampuni kesalahan orang yang telah menyakiti, memfitnah, menceraikan, memenjarakan, menghina, memecat, menipu, membuat bangkrut, mencelakakan bahkan mau membunuh saudara? Mari kita belajar dari pengampunan yang Yesus lakukan terhadap orang-orang yang telah menyalibkan Dia? Yesus sanggup menolong saudara untuk melakukannya. Saudara akan merasa terbebas dari beban yang saudara pikul selama ini.

    Telur & Balon

    Telur dan Balon

    I Samue l 16:7 “Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel:”Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.””

    Telur danbalon adalah dua hal yang tidak asing dalam kehidupan manusia. Dari muda sampai tua, pria atau pun wanita pasti mengenal keduanya. Namun, siapa yang mengetahui bahwa telor dan balon bisa digunakan sebagai bahan refleksi kehidupan kita sehari-hari? Tahukah Anda bahwa telur dan balon walaupun memiliki bentuk yang sama, tetapi ada perbedaan tajam antara
    keduanya? Balon kelihatannya indah dan menarik, coraknya meriah dan berwarna-warni, lincah dan riang bergerak kesanakemari. Namun, itu hanya penampilan dari luar saja, sedangkan di dalamnya kosong. Hanya angin. Berbeda dengan telur, dari luar memang tidak semenarik dan secantik balon, tetapi di dalamnya terkandung potensi kehidupan. Perbandingan diatas mengingatkan kita bahwa ternyata penampilan yang di dalam lebih penting daripada yang diluar.
    Dan kebenarannya, Tuhan memang lebih tertarik pada kualitas hati dan karakter kita, daripada memperhatikan bagi luar kita. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tidak perlu berpenampilan menarik atau asal-asalan. Apalagi bila pekerjaan kita berhubungan dengan orang banyak. Ada banyak mata yang melihat kita. Bila kita seorang sales lalu mengenakan pakaian yang tidak disetrika, tidak harum, bisa Anda bayangkan bagaimana respon pembeli? Apakah konsumen akan respek dan tertarik untuk membeli produk ataujasa Anda? Saya rasa tidak.
    Oleh karena itu, hendaklah penampilan di dalam hati kita berpadanan dengan yang di luar. Bila karakter dan sikap kita baik, bukankah akan lebih baik lagi dan sempurna, jika kita juga memiliki penampilan luar yang baik? Saya percaya apabila yang luar dan dalam sudah excellent, kita akan disukai tidak hanya oleh Allah tetapi juga manusia. Kecantikan hati yang didukung dengan penampilan fisik yang menarik merupakan perpaduan yang sempurna dalam kehidupan Anda.